Senin, 07 Maret 2011

MANAJEMEN EKONOMI RUMAH TANGGA


MANAJEMEN EKONOMI RUMAH TANGGA

Dalam agama Buddha terdapat  dua pola dalam menjalani kehidupan yaitu sebagai perumah tangga dan  menjalani kehidupan samana. Menempuh kehidupan perumahtangga tidak terlepas dari ikatan-ikatan duniawi, keterikatan  pada anak, istri, kakayaan dan jabatan.
Kehidupan sebagai perumah tangga bertanggungjawab terhadap keluarga tidak terlepas dari persoalan ekonomi maka diperlukan  cara mengatur ekonomi untuk mencapai kesejahteraan. Ekonomi Buddhis lebih diarahkan pada cara memperoleh kekayaan dengan memiliki mata pencaharian yang benar dan menggunakan dengan cara yang benar pula.
Sabda Buddha “barang siapa melakukan apa yang pantas, yang teguh tekad, yang bekerja keras, ia akan memperoleh kekayaan. (Sutta Nipata 187). Suatu pekerjaan yang dilaksanakan tanpa kesungguhan, tidaklah akan membuahkan hasil yang besar .(Dhp.312)
Ekonomi Buddhis tidak mengukur segalanya dengan uang, namun dasar ekonomi Buddhis adalah kesederhanaan dan tanpa kekerasan. Dalam mengumpulkan kekayaan hendaknya tidak melanggar sila sehingga merugikan orang lain dan diri sendiri. Setelah kekayaan terkumpul  digunakan sebaik-baiknya secara optimal, menjalin pergaulan yang baik dan mengatur pola hidup tidak boros.
Perumah tangga dalam mengatur ekonomi yg diperoleh dengan cara seimbang tidak melebihi dari penghasilan. Peruma tangga yang memiliki penghasilan yang besar hendaknya mengatur kekayaan seperti yang diajarkan Buddha. “Kekayaan yang diperoleh dibagi menjadi empat bagian, sebagian dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari, dua bagian digunakan untuk modal usaha, sebagian untuk ditabung untuk berjaga-jaga pada saat sulit (Digha Nikaya III.188)
Penggunaan kekayaan dengan cara yang benar, tanpa kekerasan akan memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi diri sendiri, membaginya dengan orang lain, serta melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, menggunakan tanpa kekerasan, bebas dari kejahatan dan tiada cela (Samyutta Nikaya IV.332)
Penggunaan kekayaan yang sesuai dengan ajaran Buddha diterapkan setiap perumah tangga,  kesejahteraan ekonomi keluarga akan dicapai. Tingkat kemajuan ekonomi keluarga menurut Buddhis diukur dari pengalokasian kekayaan seperti yang diajarkan Buddha . Buddha mengingatkan kepada terdapat kebahagiaan bagi perumah tangga bila memiliki usaha sendiri (Atthisukkha), dapat memanfaatkan kekayaan yg diperoleh dengan baik (bhoga sukha), kebahagiaan pantas dinikmati karena tidak mempunyai utang (anana sukha) dan tidak melakukan pekerjaan atau perbuatan yang tercela (anavajja sukha) Anggutara Nikaya III.68
Pembelanjaan sebagian kekayaan untuk memenuhi kebutuhan dengan cara yg benar merupakan tindakan ekonomi. Buddha tidak pernah melarang para umatnya untuk mencari kekayaan tetapi kekayaan yang diperoleh  dengan cara yang benar. Dengan kekayaan yang dihimpun secara benar dan diperoleh melalui usaha sendiri, ia membagi makanan dan minuman kepada makhluk-makhluk lain yang membutuhkan (It.66). Kekayaan yang diperolah tidak dipergunakan hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk orang lain.
Harta duniawi bukan meraupakan suatu yang utama, namun untuk mencapai kesejahteraan hidup duniawi seseorang membutuhkan harta benda sebagai sarana untuk mencapai kebagiaan yang akan datang.
Perumahtangga yang berkecukupan dalam bidang ekonomi tidak terlena dalam kemewahan yang ada, tidak hidup berfoya-foya karena perbuatan itu akan membawa kemerosotan dalam kehidupan. Senang bermain perempuan, mabuk-mabukan berjudi, menghambur-hamburkan kekayaan yang telah diperoleh akan menyebabkan kemerosotan (Sutta Nipata 106).
Kewaspadaan, ketelitian dan hemat diperlukan dalam mengatur ekonomi rumah tangga, ekonomi yang teratur akan membawa kesejahteraan hidup berkeluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidup perumah tangga bekerja dengan sekuat tenaga. Buddha mencela kebiasaan bermalas-malasan. Dalam Sigalovadha Sutta Sang Buddha memberikan nasehat kepada putra Sigala :”Orang yang tidak bekerja dengan alasan masih terlalu dungin, suatu masih terlalu panas. Begitu pula masih terlalu pagi, atau terlalu siang, masih terlalu lapar atau terlalu kenyang. Dengan alasan-alasan semacam itu orang membiarkan kesempatan  berlalu. Karena malas, ia tidak akan sukses atau mendapatkan kekayaan, sebaliknya yang terjadi adalah kemerosotan (D.III.184)
Perumah tangga  yang memiliki penghasilan yang kecil dengan menjaga keseimbangan antara pengeluaran tidak melebihi dari pemasukan, juga menyisihkan sedikit dari penghasilan sebagai tabungan. Menempuh hidup seimbang antara pengeluaran dan pemasukan sehingga tidak terguncang pasang surutnya penghasilan (Anguttara Nikaya VII,53)
Kesejahteraan hidup berumah tangga diperoleh dari cara pengaturan ekonomi yang baik, dengan cara mengembangkan gaya hidup sederhana. Kesederhanaan bukan berarti kemiskinan, melainkan gaya hidup yang seimbang antara pemasukan dan pengeluaran.
Manajemen ekonomi rumah tangga diharapkan untuk dilaksanakan bagi perumahtangga. Manajemen ekonomi rumah tangga yang dilaksanakan oleh setiap perumah tangga akan membawa pada kesejahteraan hidup dengan berpola hidup sederhana dan tidak mementingkan diri sendiri.
Perumah tangga yang melaksanakan pengaturan ekonomi rumah tangga menurut Buddhisme akan selalu waspada dan hati-hati dalam menggunakan kekayaaan, penuh pengendalian diri, sehingga pengeluaran lebih kecil dari pendapatan dan terkontrol dengan bai.













.

KITAB SUCI SUTTA PITAKA (bagan1) susanto

Majjhima Nikaya
Mulapannasa (5 Vagga)
I. Mulapariyaya Vagga (10 Sutta)                                                                             
1.    Mulapariyaya Sutta                   6. Akankheya Sutta
2.    Sabbasava Sutta                         7. Vatthupama Suuta
3.    Dhammadayada Sutta             8.  Sallekha Sutta
4.    Bhayabherava Sutta                 9. Sammaditthi Sutta
5.    Anangana Sutta                          10. Satipatthana Sutta

II. Sihananda Vagga (10 Sutta)
11. Culasihananda Sutta                 16.          Cethokila Sutta
12. Mahasihananda Sutta                              17.          Vanapatha Sutta
13. Mahadukkhakahanda St         18.          Madhupindika Sutta
14. Culadukkhakhanda St                              19.          Dvedhavitakka Sutta
15. Anumana Sutta                          20.          Vitakkasanthana Sutta
III. Opamma/Tatiya Vagga (10 Sutta)
21. Kakacupama Sutta                                    26. Pasarasi Sutta
22. Alagaddupama Sutta                                27. Culahatthipadopama St
23. Vammika Sutta                           28.  Mahahathipadopama St
24. Rathavinita Sutta                       29.  Mahasaropama Sutta
25. Nivapa Sutta                                30. Culasaropama Sutta

IV. Mahayamaka Vagga (10 Sutta)
31. Culagosinga Sutta                      36.  Mahasaccaka Sutta
32. Mahagosinga Sutta                   37. Culatanhasakaya Sutta
33. Mahagopala Sutta                     38.  Mahatanhasakaya Sutta
34. Culagopala Sutta                        39.  Mahaassapura Sutta
35. Culasaccaka Sutta                      40.  Culaassapura Sutta

V. Culayamaka Vagga (10 Sutta)
41. Saleyyaka Sutta                          46.  Mahadhammasamadana S
42. Veranjana Sutta                         47.  Vimamsaka Sutta
43. Mahavedalla Sutta                    48.  Kosambiya Sutta
44. Culavedalla Sutta                                       49.  Brahmanimantanika Sutta
45. Culadhammasamadana          50.  Maratanjjaniya Sutta

Majjhimapannasa (5 Vagga)
VI. Gahapati Vagga (10 Sutta)
51. Kandaraka Sutta                         56.  Upali Sutta
52. Atthakanagara Sutta                                57.  Kukkuravatika Sutta
53. Sekha Sutta                                  58.  Abhayarajakumara St
54. Potaliya Sutta                              59.  Bahuvedaniya Sutta
55. Jivaka Sutta                                  60.  Apannaka Sutta


VII. Bhikkhu Vagga (10 Sutta)
61.              Ambalatthikä Rähuloväda                   66. Latukikopama Sutta
62.              Mäha Rähuloväda Sutta                       67. Cätumä Sutta
63.              Cìla Mälunkya Sutta                                        68. Nalakapäna Sutta
64.              Mäha Mälunkya Sutta              69. Gulissani Sutta
65.              Bhaddali Sutta                          70. Kitagiri Sutta

VIII. Paribbajaka Sutta (10 Sutta)
71.              Tevijja Vacchagotta Sutta                    76. Sandaka Sutta
72.              Aggi Vacchagotta Sutta                        77. Mahä Sakuludäyi St
73.                                                             Mäha Vacchagotta Sutta                       78. Samanamandikä Sutta
74.                                                             Dighanakha Sutta                                             79. Cìla Sakuludäyi Sutta
75. Mägandiya Sutta                              80. Vekhanassa Sutta

IX. Raja Vagga (10 Sutta)
81.                                                             Ghatikära Sutta                                     86. Aégulimala Sutta
82.                                                             Ratthapalä Sutta                                               87. Piyajätika Sutta
83.              Makkhädeva Sutta                                           88. Bähitika Vagga
84.              Madhura Sutta                          89. Dhammacetiya Sutta
85.              Bodhiräjakumara Sutta                        90. Kannakatthala Sutta

X. Brahmana Vagga (10 Sutta)
91. Brahmäyu Sutta                                          96. Esukari Sutta
92. Sela Sutta.                                                     97. Dananjani Sutta
93. Assaläyana Sutta.                                       98. Vasetha Sutta
94. Ghotamukkha Sutta                                 .               99. Subha Sutta
95. Canki Sutta                                                   100. Sangarava Sutta



Uparipannasa (5 Vagga)
XI. Devadaha Vagga (10 Sutta)
101.             Devadaha Sutta                                               106.  Ananjasapaya Sutta
102.             Pancattaya Sutta                                             107.  Ganaka Mogallana Sutta
103.             Kinti Sutta                                                          108.  Gopaka Mogallana Sutta
104.             Samagama Sutta                                             109.  Mahapunamma Sutta
105.             Sunakkhata Sutta                                            110.  Culapunamma Sutta

XII. Anupada Vagga (10 Sutta)
111.             Anupada Sutta                                                                 116. Isigili Sutta
112.             Chabisodana Sutta                                         117. Mahacatarisaka Sutta
113.             Sappurisa Sutta                                                118. Anapanasati Sutta
114.             Sevithaba Asevithaba Sutta                        119. Kayagatasati Sutta
115.             Bahudathuka Sutta                                        120. Samkaruppati Sutta



XIII. Sunnata Sutta (10 Sutta)
121.             Culasunnata  Sutta                                                         126. Bumija  Sutta
122.             Mahasunnata Sutta                                                       127. Anurudha Sutta
123.             Acchariya bhutadhamma                                             128. Upakkilesa Sutta
124.             Bakkula Sutta                                                                    129. Balapandita Sutta
125.             Dantabhumi Sutta                                                          130. Devaduta Sutta

XIV. Vibhanga Vagga (12 Sutta)
131.             Baddekarata Sutta                                                          137. Salayatanavibhanga Suta
132.             Ananda Bhadekarata Sutta                                         138. Uddesavibhanga Sutta
133.             Mahakacana Bhadekarata                                           139. Aranavibhanga Vagga
134.             Lomasakaniya Bhadekarata                                        140. Dathuvibhanga Sutta
135.             Cula Kammavibhanga Sutta                                        141. Saccavibhanga Sutta
136.             MahaKammavibhanga Sutta                                      142. Dakkhinavibhanga Sutta

X. Salayatana Vagga (10 Sutta)
143.             Anatapindikovada Sutta                                               148. Chachaka Sutta
144.             Chanovada Sutta.                                                           149. Maha Salayatana Sutta
145.             Punnovada Sutta.                                                           150. Nagaravindeyya Sutta
146.             Nandakovada Sutta.                                                      151. Pindapataparisudhi Sutta
147.             Cula Rahulavada Sutta                                                  152. Indriyabhavana Sutta


Minggu, 06 Maret 2011

MAKNA dan MANFAAT MALA / TASBIH DALAM BUDDHIS


MAKNA dan MANFAAT MALA / TASBIH DALAM BUDDHIS
Pengertian mala
Secara etimologis mala  berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga (garland), hal ini dikarenakan mala disusun seperti karangan bunga yang dirangkai dengan menggunakan seutas tali. Arti lain dari mala adalah "karangan bunga dari atas" (garland from above) atau "karangan bunga surgawi" (heavenly garland) karena disesuaikan dengan sifat aktif dari praktek Buddhisme yakni bahan atau objek mala yang biasa digunakan sebagai alat untuk menuju pada kebajikan bagian dari pencerahan.
Buddhisme sebagai sebuah jalan hidup memiliki nilai-nilai yang konsisten sekaligus dinamis, kreatif, dan produktif. Konsistensi Buddhisme terlihat dari terlestarikanya nilai-nilai dasar Buddhis dalam setiap geliat skolastik yang pasti berkembang dalam setiap agama besar, berbagai ragam skolastik tetap mempertahankan nilai dasar buddhisme mulai dari sistem perlindungan, sistem pelatihan mental, maupun semangat altruistik dan realisasi hikmat hidup. Dinamika, produktivitas, kreativitas Buddhisme terlihat dari nilai-nilai budaya yang diciptakan dan diturunkan dari nilai-nilai Buddhis baik dalam bentuk budaya pemikiran maupun budaya berbentuk fisik. Budaya fisik yang agung dapat dengan mudah dijumpai seperti berbagai bangunan candi Buddhis, bangunan kerajaan Buddhis, berbagai arca Buddha maupun Bodhisattva serta berbagai peralatan liturgi atau ibadah.
Salah satu bentuk budaya fisik yang berkembang dalam liturgi dan ibadat Buddhis adalah tasbih atau dalam terminologi Buddhis lebih banyak dikenal dengan nama mala. Sebagaimana tasbih atau subha dalam Islam, rosary atau rosarium dalam Katolik, mala memiliki fungsi yang sangat penting dalam pelatihan konsentrasi mental, peningkatan iman. Menurut penelitian para ahli, pada awalnya mala berasal dari kebudayaan dan agama Hindustan yang kemudian diadopsi dalam beberapa sekte Buddhis pada sekitar abad ke 8 sebelum masehi dan memiliki bentuk mantapnya di China, Jepang, Korea, dan Tibet.
Dalam Ajaran Agama Buddha, Tasbih lebih banyak digunakan oleh aliran Mahayana dan Vajrayana/ Tibetan, alasannya aliran ini tujuannya untuk mencapai tingkat Buddha. Jadi bisa diibaratkan perjalanan mereka sangat jauh, dan banyak godaan, rintangan, dan melelahkan. Juga aliran Mahayana dan Tibetan cenderung mengembangkan Metta dan Bodhicitta, maka ada Mantra: Om-Mani-Pedme-Hum, dsb, yang kata-katanya singkat agar lebih mudah dan cepat diingat bila menggunakan tasbih.
Makna dan manfaat mala
Mala banyak dijelaskan dalam literatur vajrayana karena praktek tantra atau vajrayana banyak dilakukan dengan mendaras mantra dengan menggunakan mala sebagai alat untuk menghitung. Seperti praktek Tara misalnya, seorang tantric akan diminta untuk membacakan mantra Tara sebanyak 1,2 juta kali. Di mana masing-masing suku kata mantra harus dikalikan dengan jumlah 100.000. Untuk menjumlahkan atau menghitungnya, tidak dapat mempergunakan alat hitung modern seperti kalkulator tetapi harus menggunakan mala. Pelafalan mantra ataupun sutra yang dilakukan selama berkali-kali secara terus-menerus akan mendatangkan manfaat yang luar biasa, hal ini dapat kita jumpai dalam teks klasik misalnya Arya Tara Devi Stotra Muktika Mala Nama, dijelaskan bahwa pelafalan mantra atau bait-bait sutra dengan benar akan dapat membantu manusia untuk merealisasikan kebahagiaan, kasih, dan kebijaksanaan serta kesejahteraan baik secara duniawi maupun spiritual. Untuk itu diperlukan praktek pelafalan atau mendaras mantra dengan benar serta menggunakan sarana yang benar oleh karenanya dalam vajrayana dipercayai bahwa bila mala digunakan secara benar, maka hasilnya akan lebih efektif, lebih maksimal, sehingga hasil dari pelafalan mantrapun akan lebih besar, sebaliknya jika tidak digunakan secara tepat maka tidak akan mendapatkan hasil yang efektif.
Hal pertama yang harus dimiliki oleh orang yang mau menggunakan mala sebagai praktek adalah memiliki persepsi yang benar tentang mala bukan sebagai perhiasan melainkan sebagai sarana persembahan. Perlu dipahami bahwa donjen atau yang biasa kita sebut sebagai kepala mala adalah merupakan lambang dari tubuh, ucapan dan pikiran Buddha atau deity, oleh sebab itu, bila menurut persyaratan maka kepala mala ini hendaknya terdiri dari tiga lapis. Idealnya, bagian paling atas berwarna biru, lapisan kedua merah dan lapisan dasar berwarna putih. Tali atau benang dari mala merupakan lambang dari yidam/Buddha atau deity. Jadi misalnya pada saat seorang tantric menjalankan latihan membaca mantra Tara, maka benang atau tali mala itu adalah simbol dari Tara sedangkan biji-biji mala merupakan simbol dari para pengikut  Tara.
Mala memiliki nilai yang sangat agung dikarenakan fungsinya yang dapat membantu konsentrasi pikiran pada obyek tertentu. Awal mula interpretasi terkait dengan fungsi yang agung dari mala dapat dijumpai pada kisah Buddha Sakyamuni sebagai berikut: “Pada waktu Sakyamuni, penemu Buddha Dharma, mengunjungi raja Vaidunya, Sakyamuni menyuruh kepada sang raja untuk membuat untaian 108 biji pohon Bodhi pada benang atau tali yang indah, kemudian ketika untaian biji-biji Bodhi tersebut melewati diantara jari-jari sang raja maka raja harus mengulang kata “keagungan Buddha, keagungan hukum-hukum Dharma dan keagungan Sangha” sebanyak 2000 kali sehari (Louis Serr Dubin, The History of Bread, 1987).
Mala terutama digunakan untuk menghitung mantra. Mantra ini dapat diucapkan untuk tujuan yang berbeda terkait untuk bekerja dengan pikiran. Material yang digunakan untuk membuat manik-manik dapat bervariasi sesuai dengan tujuan dari mantra yang digunakan. Beberapa manik-manik bisa digunakan untuk semua tujuan dan segala macam mantra. Manik-manik ini bisa dibuat dari kayu pohon Bodhi (ficus religiosa), atau dari biji “Bodhi”, yang merupakan ironi karena benih berasal dari pohon yang terkait dengan Rudraksha (ganitrus Elaeocarpus) dan bukan pohon Bodhi (pohon ara, biji yang berada di dalam ara kecil, dan miniscule). Nama ilmiah pohon ini, asli Nepal, belum ditentukan mala lain tujuan umum terbuat dari biji lain yang tidak diketahui, manik-manik sendiri disebut “Bulan dan Bintang” oleh Tibet, dan dengan berbagai disebut “akar teratai”, 'teratai benih' dan 'kacang linden' oleh berbagai pengecer. Manik-manik sendiri sangat keras dan padat, berwarna gading (yang secara bertahap berubah mendalam cokelat keemasan dengan menggunakan panjang) lubang kecil, dan memiliki (bulan) dan titik-titik hitam kecil (bintang) meliputi permukaannya.
Biji mala yang berjumlah 108 juga terdapat dalam agama Hindu tetapi makna dari jumlah tersebut berbeda dengan makna yang ada pada agama Buddha. Pada agama Hindu, angka 108 memiliki berbagai latar belakang:
a.       108 melambangkan nama deities Hindu yang berjumlah 108
b.      Dalam Hindu juga terdapat sistem astrologi berjumlah 12 rasi atau Zodiacs dan sembilan planet atau Navagrahas. 12 X 9 = 108
c.       Dalam kitab Hindu Bhagavata Purana, Yang Mulia Krishna menari dengan 108 Gopi
d.      Angka 108 juga berkaitan dengan cakra pada manusia yang memiliki 108 simpul utama
e.       Angka 108 juga bertepatan dengan jumlah Upanisad (penjelasan dari Kitab Suci Veda yang berjumlah 108).
Dalam agama Buddha jumlah 108 justru memiliki makna ketidakmurnian (impurities) atau noda-noda mental yang harus dilenyapkan untuk mencapai nirvana. Buddhisme mengajarkan bahwa orang dikatakan memiliki 108 sebab penderitaan atau kilesa dimulai dengan adanya 6 indra (penglihatan, suara, bau, rasa, sentuhan dan kesadaran) bereaksi dengan 3 macam reaksi (senang/sukha, ketidaksenangan/dukha, bukan kesenangan dan ketidaksenangan/adukkham-asukhā) menjadikan 18 jenis perasaan. Masing-masing perasaan dapat "melekat atau terlepas dari nafsu kesenangan" membentuk 36 formasi, masing-masing dapat memanifestasikan dirinya di masa lalu, sekarang atau masa depan. Semua kombinasi dari tersebut membentuk total 108 yang dijelaskan juga dalam Vedana Samyutta.
Ada banyak penjelasan mengapa ada 108 manik-manik, dengan signifikansi nomor 108 bantalan agama khusus di sejumlah tradisi Hindu dan Budha. Ananda Coomaraswamy berpendapat bahwa numerologi dari sistem angka desimal adalah kunci awal. 108 Oleh karena itu didirikan pada numerologi metafisik dharma. Satu untuk bindu; nol untuk Sunyata dan delapan untuk Ananta.
Dalam pemikiran Buddhis tradisional, orang yang dikatakan memiliki 108 penderitaan atau kilesa. Ada enam indra (penglihatan, suara, bau, rasa, sentuhan, dan kesadaran) dikalikan dengan tiga reaksi (positif, negatif, atau ketidakpedulian) membuat 18 "perasaan." Masing-masing perasaan dapat berupa "melekat pada kesenangan atau terlepas dari kenikmatan" membuat 36 "gairah", yang masing-masing dapat diwujudkan di masa depan, lalu, sekarang. Semua kombinasi dari semua hal ini membuat total 108, yang diwakili oleh manik-manik di ojuzu tombol. Ini nomor yang sama juga digunakan dalam layanan Jepang Tahun Baru di mana bel berbunyi 108 kali.
Selain itu, praktisi Vajrayana Buddhisme, menggunakan nomor 108 untuk tujuan yang berbeda. Setelah membaca 100 mantra, delapan mantra tambahan dilakukan untuk mengkompensasi kesalahan. Ada beberapa definisi yang berbeda dari Tantra dari berbagai sudut pandang, tidak semua dari mereka selalu konsisten. Robert Brown mencatat bahwa istilah Tantrisme sebuah konstruksi beasiswa Barat dan bahwa:
 Ini bukan sebuah konsep yang berasal dari dalam sistem agama itu sendiri, meskipun secara umum diakui secara internal sebagai berbeda dari tradisi Veda. Hal ini langsung membuat tersangka sebagai kategori independen. Daripada sistem yang koheren tunggal, Tantra adalah akumulasi praktek-praktek dan ide-ide yang dicirikan dengan menggunakan ritual, dengan penggunaan biasa untuk mengakses-supra duniawi, dan oleh identifikasi mikrokosmos dengan makrokosmos. Praktisi Tantra berusaha untuk menggunakan prana (kekuatan ilahi) yang mengalir melalui alam semesta (termasuk tubuh sendiri) untuk mencapai tujuan tujuan. Tujuan ini mungkin spiritual, materi atau keduanya. Kebanyakan praktisi Tantra menganggap penting pengalaman mistik. Beberapa versi dari Tantra memerlukan bimbingan seorang guru.
Tasbih lazimnya digunakan oleh para pemuka agama, maupun dikalungkan pada patung para Buddha dan Bodhisatva. Tasbih dipandang sebagai benda-benda suci, biasanya umat awan tidak menggunakan sebagai aksesoris tapi lebih padahal sakral. Pengertian lebih penting daripada teori, sebagai alat pengukuh dan peringatan. Saat ada niat jahat pada orang lain maka saat tasbih melingkar pada tangan kita, maka maka akan segera mengurungkan niat tersebut. Itu salah satu kegunaan tasbih, jika kita mau memanfaatknnya. Sama halnya dengan rupang buddha, memberi pengertian yang benar itu lebih penting daripada mengecamnya.
Makna tasbih lebih pada arti mengikat/ menyatu sperti rantai hendak umat adalah saling merangkul berpelukan dalam pikir untuk menyatukan diri dalam komunitas/sangha. Jadi dapat dibilang sakti/ bermanfaat karena persatuan yang kokoh, bisa saling bantu saling mengisi tiada celah renggang bagai tasbih dan dalam tasbih ada satu batas utama/ pembatas sebagai suatu penanda, pengambil keputusan dmikianlah tasbih dibentuk sebagai pengingat/ simbol kesadaran.





.