Minggu, 06 Maret 2011

MAKNA dan MANFAAT MALA / TASBIH DALAM BUDDHIS


MAKNA dan MANFAAT MALA / TASBIH DALAM BUDDHIS
Pengertian mala
Secara etimologis mala  berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga (garland), hal ini dikarenakan mala disusun seperti karangan bunga yang dirangkai dengan menggunakan seutas tali. Arti lain dari mala adalah "karangan bunga dari atas" (garland from above) atau "karangan bunga surgawi" (heavenly garland) karena disesuaikan dengan sifat aktif dari praktek Buddhisme yakni bahan atau objek mala yang biasa digunakan sebagai alat untuk menuju pada kebajikan bagian dari pencerahan.
Buddhisme sebagai sebuah jalan hidup memiliki nilai-nilai yang konsisten sekaligus dinamis, kreatif, dan produktif. Konsistensi Buddhisme terlihat dari terlestarikanya nilai-nilai dasar Buddhis dalam setiap geliat skolastik yang pasti berkembang dalam setiap agama besar, berbagai ragam skolastik tetap mempertahankan nilai dasar buddhisme mulai dari sistem perlindungan, sistem pelatihan mental, maupun semangat altruistik dan realisasi hikmat hidup. Dinamika, produktivitas, kreativitas Buddhisme terlihat dari nilai-nilai budaya yang diciptakan dan diturunkan dari nilai-nilai Buddhis baik dalam bentuk budaya pemikiran maupun budaya berbentuk fisik. Budaya fisik yang agung dapat dengan mudah dijumpai seperti berbagai bangunan candi Buddhis, bangunan kerajaan Buddhis, berbagai arca Buddha maupun Bodhisattva serta berbagai peralatan liturgi atau ibadah.
Salah satu bentuk budaya fisik yang berkembang dalam liturgi dan ibadat Buddhis adalah tasbih atau dalam terminologi Buddhis lebih banyak dikenal dengan nama mala. Sebagaimana tasbih atau subha dalam Islam, rosary atau rosarium dalam Katolik, mala memiliki fungsi yang sangat penting dalam pelatihan konsentrasi mental, peningkatan iman. Menurut penelitian para ahli, pada awalnya mala berasal dari kebudayaan dan agama Hindustan yang kemudian diadopsi dalam beberapa sekte Buddhis pada sekitar abad ke 8 sebelum masehi dan memiliki bentuk mantapnya di China, Jepang, Korea, dan Tibet.
Dalam Ajaran Agama Buddha, Tasbih lebih banyak digunakan oleh aliran Mahayana dan Vajrayana/ Tibetan, alasannya aliran ini tujuannya untuk mencapai tingkat Buddha. Jadi bisa diibaratkan perjalanan mereka sangat jauh, dan banyak godaan, rintangan, dan melelahkan. Juga aliran Mahayana dan Tibetan cenderung mengembangkan Metta dan Bodhicitta, maka ada Mantra: Om-Mani-Pedme-Hum, dsb, yang kata-katanya singkat agar lebih mudah dan cepat diingat bila menggunakan tasbih.
Makna dan manfaat mala
Mala banyak dijelaskan dalam literatur vajrayana karena praktek tantra atau vajrayana banyak dilakukan dengan mendaras mantra dengan menggunakan mala sebagai alat untuk menghitung. Seperti praktek Tara misalnya, seorang tantric akan diminta untuk membacakan mantra Tara sebanyak 1,2 juta kali. Di mana masing-masing suku kata mantra harus dikalikan dengan jumlah 100.000. Untuk menjumlahkan atau menghitungnya, tidak dapat mempergunakan alat hitung modern seperti kalkulator tetapi harus menggunakan mala. Pelafalan mantra ataupun sutra yang dilakukan selama berkali-kali secara terus-menerus akan mendatangkan manfaat yang luar biasa, hal ini dapat kita jumpai dalam teks klasik misalnya Arya Tara Devi Stotra Muktika Mala Nama, dijelaskan bahwa pelafalan mantra atau bait-bait sutra dengan benar akan dapat membantu manusia untuk merealisasikan kebahagiaan, kasih, dan kebijaksanaan serta kesejahteraan baik secara duniawi maupun spiritual. Untuk itu diperlukan praktek pelafalan atau mendaras mantra dengan benar serta menggunakan sarana yang benar oleh karenanya dalam vajrayana dipercayai bahwa bila mala digunakan secara benar, maka hasilnya akan lebih efektif, lebih maksimal, sehingga hasil dari pelafalan mantrapun akan lebih besar, sebaliknya jika tidak digunakan secara tepat maka tidak akan mendapatkan hasil yang efektif.
Hal pertama yang harus dimiliki oleh orang yang mau menggunakan mala sebagai praktek adalah memiliki persepsi yang benar tentang mala bukan sebagai perhiasan melainkan sebagai sarana persembahan. Perlu dipahami bahwa donjen atau yang biasa kita sebut sebagai kepala mala adalah merupakan lambang dari tubuh, ucapan dan pikiran Buddha atau deity, oleh sebab itu, bila menurut persyaratan maka kepala mala ini hendaknya terdiri dari tiga lapis. Idealnya, bagian paling atas berwarna biru, lapisan kedua merah dan lapisan dasar berwarna putih. Tali atau benang dari mala merupakan lambang dari yidam/Buddha atau deity. Jadi misalnya pada saat seorang tantric menjalankan latihan membaca mantra Tara, maka benang atau tali mala itu adalah simbol dari Tara sedangkan biji-biji mala merupakan simbol dari para pengikut  Tara.
Mala memiliki nilai yang sangat agung dikarenakan fungsinya yang dapat membantu konsentrasi pikiran pada obyek tertentu. Awal mula interpretasi terkait dengan fungsi yang agung dari mala dapat dijumpai pada kisah Buddha Sakyamuni sebagai berikut: “Pada waktu Sakyamuni, penemu Buddha Dharma, mengunjungi raja Vaidunya, Sakyamuni menyuruh kepada sang raja untuk membuat untaian 108 biji pohon Bodhi pada benang atau tali yang indah, kemudian ketika untaian biji-biji Bodhi tersebut melewati diantara jari-jari sang raja maka raja harus mengulang kata “keagungan Buddha, keagungan hukum-hukum Dharma dan keagungan Sangha” sebanyak 2000 kali sehari (Louis Serr Dubin, The History of Bread, 1987).
Mala terutama digunakan untuk menghitung mantra. Mantra ini dapat diucapkan untuk tujuan yang berbeda terkait untuk bekerja dengan pikiran. Material yang digunakan untuk membuat manik-manik dapat bervariasi sesuai dengan tujuan dari mantra yang digunakan. Beberapa manik-manik bisa digunakan untuk semua tujuan dan segala macam mantra. Manik-manik ini bisa dibuat dari kayu pohon Bodhi (ficus religiosa), atau dari biji “Bodhi”, yang merupakan ironi karena benih berasal dari pohon yang terkait dengan Rudraksha (ganitrus Elaeocarpus) dan bukan pohon Bodhi (pohon ara, biji yang berada di dalam ara kecil, dan miniscule). Nama ilmiah pohon ini, asli Nepal, belum ditentukan mala lain tujuan umum terbuat dari biji lain yang tidak diketahui, manik-manik sendiri disebut “Bulan dan Bintang” oleh Tibet, dan dengan berbagai disebut “akar teratai”, 'teratai benih' dan 'kacang linden' oleh berbagai pengecer. Manik-manik sendiri sangat keras dan padat, berwarna gading (yang secara bertahap berubah mendalam cokelat keemasan dengan menggunakan panjang) lubang kecil, dan memiliki (bulan) dan titik-titik hitam kecil (bintang) meliputi permukaannya.
Biji mala yang berjumlah 108 juga terdapat dalam agama Hindu tetapi makna dari jumlah tersebut berbeda dengan makna yang ada pada agama Buddha. Pada agama Hindu, angka 108 memiliki berbagai latar belakang:
a.       108 melambangkan nama deities Hindu yang berjumlah 108
b.      Dalam Hindu juga terdapat sistem astrologi berjumlah 12 rasi atau Zodiacs dan sembilan planet atau Navagrahas. 12 X 9 = 108
c.       Dalam kitab Hindu Bhagavata Purana, Yang Mulia Krishna menari dengan 108 Gopi
d.      Angka 108 juga berkaitan dengan cakra pada manusia yang memiliki 108 simpul utama
e.       Angka 108 juga bertepatan dengan jumlah Upanisad (penjelasan dari Kitab Suci Veda yang berjumlah 108).
Dalam agama Buddha jumlah 108 justru memiliki makna ketidakmurnian (impurities) atau noda-noda mental yang harus dilenyapkan untuk mencapai nirvana. Buddhisme mengajarkan bahwa orang dikatakan memiliki 108 sebab penderitaan atau kilesa dimulai dengan adanya 6 indra (penglihatan, suara, bau, rasa, sentuhan dan kesadaran) bereaksi dengan 3 macam reaksi (senang/sukha, ketidaksenangan/dukha, bukan kesenangan dan ketidaksenangan/adukkham-asukhā) menjadikan 18 jenis perasaan. Masing-masing perasaan dapat "melekat atau terlepas dari nafsu kesenangan" membentuk 36 formasi, masing-masing dapat memanifestasikan dirinya di masa lalu, sekarang atau masa depan. Semua kombinasi dari tersebut membentuk total 108 yang dijelaskan juga dalam Vedana Samyutta.
Ada banyak penjelasan mengapa ada 108 manik-manik, dengan signifikansi nomor 108 bantalan agama khusus di sejumlah tradisi Hindu dan Budha. Ananda Coomaraswamy berpendapat bahwa numerologi dari sistem angka desimal adalah kunci awal. 108 Oleh karena itu didirikan pada numerologi metafisik dharma. Satu untuk bindu; nol untuk Sunyata dan delapan untuk Ananta.
Dalam pemikiran Buddhis tradisional, orang yang dikatakan memiliki 108 penderitaan atau kilesa. Ada enam indra (penglihatan, suara, bau, rasa, sentuhan, dan kesadaran) dikalikan dengan tiga reaksi (positif, negatif, atau ketidakpedulian) membuat 18 "perasaan." Masing-masing perasaan dapat berupa "melekat pada kesenangan atau terlepas dari kenikmatan" membuat 36 "gairah", yang masing-masing dapat diwujudkan di masa depan, lalu, sekarang. Semua kombinasi dari semua hal ini membuat total 108, yang diwakili oleh manik-manik di ojuzu tombol. Ini nomor yang sama juga digunakan dalam layanan Jepang Tahun Baru di mana bel berbunyi 108 kali.
Selain itu, praktisi Vajrayana Buddhisme, menggunakan nomor 108 untuk tujuan yang berbeda. Setelah membaca 100 mantra, delapan mantra tambahan dilakukan untuk mengkompensasi kesalahan. Ada beberapa definisi yang berbeda dari Tantra dari berbagai sudut pandang, tidak semua dari mereka selalu konsisten. Robert Brown mencatat bahwa istilah Tantrisme sebuah konstruksi beasiswa Barat dan bahwa:
 Ini bukan sebuah konsep yang berasal dari dalam sistem agama itu sendiri, meskipun secara umum diakui secara internal sebagai berbeda dari tradisi Veda. Hal ini langsung membuat tersangka sebagai kategori independen. Daripada sistem yang koheren tunggal, Tantra adalah akumulasi praktek-praktek dan ide-ide yang dicirikan dengan menggunakan ritual, dengan penggunaan biasa untuk mengakses-supra duniawi, dan oleh identifikasi mikrokosmos dengan makrokosmos. Praktisi Tantra berusaha untuk menggunakan prana (kekuatan ilahi) yang mengalir melalui alam semesta (termasuk tubuh sendiri) untuk mencapai tujuan tujuan. Tujuan ini mungkin spiritual, materi atau keduanya. Kebanyakan praktisi Tantra menganggap penting pengalaman mistik. Beberapa versi dari Tantra memerlukan bimbingan seorang guru.
Tasbih lazimnya digunakan oleh para pemuka agama, maupun dikalungkan pada patung para Buddha dan Bodhisatva. Tasbih dipandang sebagai benda-benda suci, biasanya umat awan tidak menggunakan sebagai aksesoris tapi lebih padahal sakral. Pengertian lebih penting daripada teori, sebagai alat pengukuh dan peringatan. Saat ada niat jahat pada orang lain maka saat tasbih melingkar pada tangan kita, maka maka akan segera mengurungkan niat tersebut. Itu salah satu kegunaan tasbih, jika kita mau memanfaatknnya. Sama halnya dengan rupang buddha, memberi pengertian yang benar itu lebih penting daripada mengecamnya.
Makna tasbih lebih pada arti mengikat/ menyatu sperti rantai hendak umat adalah saling merangkul berpelukan dalam pikir untuk menyatukan diri dalam komunitas/sangha. Jadi dapat dibilang sakti/ bermanfaat karena persatuan yang kokoh, bisa saling bantu saling mengisi tiada celah renggang bagai tasbih dan dalam tasbih ada satu batas utama/ pembatas sebagai suatu penanda, pengambil keputusan dmikianlah tasbih dibentuk sebagai pengingat/ simbol kesadaran.





.

3 komentar:

  1. TAKHYUL. SEMUA DI-COCOK-COCOK-KAN DEMI KEPENTINGAN TERTENTU YANG TIDAK MEMBAWA KEBEBASAN SEJATI.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. DOKTRINISASI DARI PEMUKA ALIRAN SAJA. BUKAN AJARAN INTI.

    BalasHapus